Beliau adalah Pak Janidin, 41 tahun. Lahir dan besar di Kampung Kebon Jambe, Garut, hidupnya berubah drastis setelah kecelakaan tragis menimpanya tahun 2004. Saat itu, ia terjatuh dari pohon saat hendak mengambil buah. Bagian punggung, tulang ekor, hingga kakinya mengalami luka parah. Ia harus menjalani beberapa operasi, bahkan sempat terbaring tak sadarkan diri hanya tergeletak lemas di kasur.

Sejak saat itu, kedua kakinya lumpuh total. Ia tak bisa berdiri apalagi berjalan tanpa alat bantu. Tongkat dan kursi roda jadi teman setia sehari-hari. Tapi keterbatasan fisik itu tidak pernah membatasi semangat hidupnya.
Tiga tahun lalu, Pak Janidin mengambil langkah besar. Ia meninggalkan kampung halamannya di Garut dan nekat merantau ke Bekasi. Meski belum tahu arah hidupnya di kota besar, ia hanya ingin satu: hidup mandiri dan tidak merepotkan orang tua lagi. Di kampung, ia tak bisa membantu di sawah, tak bisa bekerja seperti orang lain. Ia merasa hanya menjadi beban.
Di Bekasi, kehidupan memang keras. Tapi Pak Janidin memilih bertahan. Ia mulai belajar menjadikan kemampuan memijat yang dimilikinya sejak kecil sebagai penghasilan. Ia juga mencoba berbagai usaha—mulai dari membuat jala kerajinan, hingga akhirnya enam bulan lalu memberanikan diri berjualan mainan keliling dengan modal awal hanya Rp100.000.
Mainan-mainan itu ia beli online, lalu dijual kembali di pasar kaget, taman komplek, atau tempat wisata. Keuntungan bersihnya hanya sekitar Rp4.000 per buah. Kadang bisa dapat Rp100.000 di hari libur, tapi seringkali pulang tanpa hasil. Pernah juga, ia dan istrinya tak makan selama dua hari karena tak ada uang sama sekali.

Selain jualan, Pak Janidin juga menerima panggilan pijat, tanpa tarif tetap. Bayaran seikhlasnya. Kadang dapat Rp250.000, tapi seringnya hanya Rp50.000, bahkan pernah hanya Rp20.000. Yang lebih menyedihkan, ada yang janji bayar tapi sampai sekarang tak pernah kembali. Meski begitu, ia tetap ikhlas. “Namanya hidup,” katanya pelan, “kadang ada yang baik, kadang ada yang nyakitin. Tapi semua pasti ada hikmahnya.”
Setiap hari, ia selalu menyisihkan sedikit demi sedikit dari hasil jualannya. Bukan untuk jajan, tapi untuk bayar kontrakan. Kontrakan itu seharga Rp1 juta per bulan. Baginya, kehilangan tempat tinggal lebih menakutkan dari apapun. Maka ia rela menahan lapar asal tak kehilangan atap.

Kini ia tinggal bersama istrinya yang baru dinikahi setahun lalu. Sang istri pun berusaha membantu ekonomi keluarga dengan berjualan peyek di pagi hari. Tapi kadang hasilnya hanya Rp15.000—itu pun belum tentu laku semua.
Total pengeluaran mereka per bulan sekitar Rp2,7 juta, sementara penghasilannya jauh di bawah itu. Setiap hari adalah perjuangan. Tapi Pak Janidin tidak pernah mengeluh.

Ia tetap ramah, selalu tersenyum, dan yang paling luar biasa: ibadahnya tak pernah putus. Bahkan saat awal pasca operasi dulu, keluarganya yang harus menyuapi dan memandikannya untuk bisa salat. Ia mengaku, meski sempat bingung dan lupa saat sadar, salat tetap jadi pegangan hidupnya.
Sekarang, ia punya cita-cita sederhana. Pak Janidin Ingin berjualan es teh—karena Bekasi panas, dan menurutnya memiliki peluang yang besar. Bapak juga Ingin punya motor roda tiga, supaya bisa berdagang dan melayani panggilan pijat tanpa harus terpeleset, jatuh, atau ditolak karena keterbatasan gerak.
Tapi untuk mewujudkan itu, ia butuh bantuan. Butuh tangan yang peduli. Karena berjuang seorang diri dalam kondisi seperti ini, terlalu berat.
“Waktu saya kecelakaan, saya lagi di pesantren. Guru-guru bilang, kalau ini takdir dari Allah, berarti ini yang terbaik buat saya. Allah nggak pernah salah kasih ujian. Itu yang selalu saya pegang sampai sekarang,” kata Pak Janidin sambil tersenyum.
Dana yang terkumpul akan digunakan untuk membantu Pak Janidin membuka usaha es teh dan membeli motor roda tiga sebagai kendaraan untuk membantu Pak Janidin sehari-hari. Insya Allah, jika ada kelebihan dana, akan disalurkan kepada penerima manfaat lain melalui program-program kemanusiaan Yayasan Sahabat Beramal Jariyah.