Baru-baru ini terdapat sebuah berita tentang pemecatan massal guru honorer di daerah Jakarta.
Hal tersebut membuat hati Pak Edi gelisah meskipun sudah mengabdikan diri sebagai guru honorer selama 25 tahun di sekolah dasar setempat.
Meskipun memiliki keterbatasan fisik, namun semangatnya tidak pernah pudar demi memberikan pendidikan terbaik untuk anak didiknya.
Pak Edi tidak lahir sebagai disabilitas. Semua berawal saat masih bayi, Pak Edi alami demam tinggi dan kejang yang mengancam nyawa namun orang tuanya tidak mampu membawa Pak Edi berobat ke dokter.
Akhirnya Pak Edi hanya diobati secara tradisional. Pak Edi selamat namun kondisi fisiknya tidak bisa kembali seperti semula.
Sebelum berangkat ke sekolah, Pak Edi rutin memberikan ayam peliharaannya makan karena ayam-ayam itu menjadi sumber penghasilan lain untuk menyambung hidup.
Karena jika hanya mengandalkan upah guru honorer yang hanya 600 ribu rupiah per bulan, Pak Edi tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan juga anaknya.
Pak Edi berjuang sendirian karena ia telah lama ditinggal oleh sang istri karena sakit. Meskipun upah guru tidak seberapa, tapi ia tetap jalani demi keberlangsungan hidup anaknya tercinta.
Pak Edi berangkat ke sekolah menggunakan sepeda yang sudah usang. Jalannya tertatih, namun semangatnya tak pernah pudar. Sepeda tua itu menjadi saksi bisu dedikasinya sebagai guru yang selalu siap membimbing dan menghibur murid-muridnya dengan penuh kehangatan namun tetap tegas.
Pak Edi tinggal bersama anaknya di rumah sederhana peninggalan sang istri. Namun, masalah besar datang.
Keluarga besar almarhumah istrinya ingin menjual rumah yang Pak Edi tempati karena menganggap Pak Edi sudah tidak memiliki hak tinggal disana. Kini Pak Edi bisa diusir kapan saja tanpa tahu harus pergi kemana.
Kakak-kakak yang baik, yuk kita bantu Pak Edi agar hidupnya bisa lebih sejahtera dan layak. Sedikit bantuan yang kita beri merupakan bentuk apresiasi kepadanya karena telah mengabdi sebagai pendidik yang hebat!