Setiap pagi, sejak pukul setengah enam, Abah Kosim (60) sudah duduk di atas motor tuanya. Berkeliling kampung, menunggu ada yang butuh jasanya sebagai tukang ojek. Abah terus keliling sampai jam sebelas siang, lalu pulang sebentar untuk istirahat, sebelum kembali lagi di siang hari.

Motor tuanya sering jadi alasan penumpang memilih ojek lain. Kalau mogok atau kehabisan bensin, Abah harus mendorong sendiri. Bahkan pernah abah menggadaikan KTP ke tukang bensin demi bisa lanjut narik. Pernah juga ditipu penumpang, disuruh menunggu di gang dengan janji akan membayar, tapi tak pernah kembali. Abah hanya bisa menunggu di atas motor, sendirian, selama satu jam setengah, pulang dengan tangan kosong.
Setiap hari, Abah Kosim menarik ojek dengan penghasilan yang tak menentu hanya Rp10.000 hingga Rp30.000. Sementara itu, di rumah menunggu seorang istri dan dua anak perempuan yang harus ia nafkahi. Saat uang tak ada, Abah dan keluarganya sering terpaksa berpuasa, bukan karena ibadah sunnah, tapi karena memang tak ada beras untuk dimakan.
Istrinya belum bekerja, dan anak-anaknya kini sedang meniti jalan masing-masing; yang bungsu tengah mendapatkan beasiswa kuliah di Unfari, sementara yang sulung mengajar sebagai guru TK. Meski hidup penuh keterbatasan, Abah terus berjuang agar keluarga tetap bertahan dan bisa bermimpi lebih baik.
“Kalau memang nggak ada, mau gimana lagi… kita istirahat aja, puasa aja dulu,” ucap Abah pada istrinya.

Hidup Abah tidak berhenti diuji. Ia pernah kecelakaan saat narik, kakinya luka hingga ke tulang kering. Pelaku hanya memberi Rp50.000, sementara Abah harus berhenti bekerja selama dua bulan. Sejak itu, kakinya menjadi bengkok, tulang keringnya mengecil. Hingga kini Abah hanya bisa berjalan dengan bantuan sepatu boot tua yang sudah rusak, dipakai terus selama tiga tahun terakhir.
Meski begitu, Abah tidak pernah menyerah. Selain menjadi tukang ojek, abah mengajar ngaji anak-anak selepas Ashar dengan bayaran seikhlasnya, bahkan seringkali tanpa bayaran sama sekali. Katanya, “Yang penting anak-anak bisa baca Qur’an.”
Ia juga membuat sapu lidi dari daun yang dikumpulkan saat ngojek. Setiap malam, Abah duduk di lantai, meraut satu per satu lidi dengan telaten. Dijual ke warung-warung seharga Rp4.500 per sapu meskipun tidak selalu laku.

Hari-harinya memang berat, tapi Abah memiliki harapan. Abah ingin punya usaha kecil-kecilan di rumah, seperti produksi kerupuk, supaya tak harus selalu bergantung pada motor tuanya. Karena ketika hujan turun, Abah sering pulang dalam keadaan basah kuyup tanpa membawa sepeserpun uang.
Penerima Manfaat beralamat di Cipatat, Bandung Barat
Dana yang terkumpul akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari Abah Kosim dan keluarga, biaya pengobatan serta perawatan kakinya yang masih bermasalah, serta membantu mewujudkan cita-cita Abah untuk punya usaha kecil di rumah agar tidak lagi bergantung pada motor tuanya. Jika terdapat kelebihan dana, akan disalurkan kepada penerima manfaat lainnya di bawah naungan Yayasan Sahabat Beramal Jariyah.


