Bayangkan, di usia 37 tahun, ketika teman-teman seusianya sudah berkeluarga, Rahmat memilih jalan berbeda: ia rela tidak menikah demi bisa merawat ibunya, Mak Adah, yang lumpuh dan sakit-sakitan.

Setiap hari, Rahmat bertaruh nyawa menyusuri hutan dan memanjat belasan pohon aren yang tinggi, hanya untuk menyadap nira. Air nira itu kemudian ia olah jadi gula aren, lalu dijajakan keliling kampung. Tapi hasilnya sering kali tidak sebanding dengan tenaga dan resiko yang ia keluarkan.

Sejak kecil hidup Rahmat memang tidak mudah. Ia hanya sempat sekolah sampai kelas 2 SD karena keterbatasan ekonomi. Sejak itu, ia meneruskan profesi ayahnya sebagai penyadap nira. Sebuah pekerjaan berat namun berpenghasilan kecil.

Tapi Rahmat tidak punya banyak pilihan. Baginya, yang penting bisa tetap merawat dan memberi makan ibunya. Bahkan ketika harus menjual gula aren keliling, ia sering mendorong ibunya memakai gerobak pasir seadanya karena enggan meninggalkan beliau sendirian di rumah.

Di rumah, kondisi pun jauh dari kata layak. Rahmat dan ibunya tinggal di gubuk reot yang hampir roboh, dengan atap bocor dan dinding berlubang. Sering kali, malam mereka ditemani udara dingin yang masuk dari celah-celah dinding. “Ibu selalu minta Rahmat buat nikah, tapi Rahmat takut kalau nikah nggak bisa rawat ibu, Rahmat nggak mau kehilangan ibu..” Ucapnya. Kalimat itu sederhana, tapi penuh air mata. Pilihan Rahmat adalah wujud bakti dan cinta tanpa batas untuk ibunya.

Sahabat, Rahmat tidak meminta banyak. Ia hanya ingin ibunya bisa dirawat dengan layak, punya rumah yang lebih baik, dan bantuan modal usaha agar hidup mereka lebih ringan. Perjuangannya selama ini sudah luar biasa, tapi ia tidak bisa berjalan sendiri. Mari kita temani Rahmat dan Mak Adah. Bantuanmu bisa jadi alasan mereka tersenyum dan punya harapan baru.