Bayangkan jadi seorang ibu, baru saja kehilangan suami karena sakit, kini harus berjuang sendirian mengurus dua anak. Masalahnya belum berhenti sampai di situ. Anak bungsu yang masih 8 tahun ternyata punya kondisi langka: kelamin ganda.
Itulah kenyataan yang dialami Bu Yuyun (45). Suaminya, Pak Tatang (44), meninggal lebih dari sebulan lalu karena sakit TB paru akut. Bukan karena tak ada harapan sembuh, tapi karena telat berobat—murni karena mereka tak punya biaya.
Kini, ketakutan yang sama menghantui Bu Yuyun. Ia takut kehilangan anak keduanya, Zihril, karena kelainan sejak bayi yang sampai sekarang belum pernah tertangani secara medis.
“Suami saya meninggal karena telat berobat, Pak… Sekarang anak saya Zihril juga sakit, saya takut kejadian yang sama terulang lagi,” ucap Bu Yuyun lirih.
Sejak suaminya tiada, Bu Yuyun jadi tulang punggung keluarga. Setiap hari, ia berjualan gorengan, kue basah, kerupuk nanas, atau snack seadanya. Dari jam 12 siang sampai 5 sore, ia bersama Zihril berjalan kaki 5 km dari kampung ke kampung. Hujan atau panas, tak ada bedanya. Yang penting dagangan laku, supaya hari itu mereka bisa makan.
Saat kami tanya, “Zihril kenapa mau bantuin ibu?” Lantang dia jawab, “Pengen masuk surga,” Haru sekali dengarnya..
Tapi mirisnya, hasil jualan paling hanya Rp30–40 ribu per hari. Jumlah yang hanya cukup untuk makan sederhana dan sedikit bekal sekolah anaknya. Sementara, biaya untuk membawa Zihril ke rumah sakit jelas tidak cukup.
Sekilas, Zihril memang terlihat seperti anak normal lainnya. Tapi sejak bayi, ia punya kelainan pada alat vital: ada zakar layaknya laki-laki, tapi di bagian bawahnya juga terdapat lubang menyerupai kelamin perempuan. Saat buang air kecil, ia harus jongkok karena air kencingnya tak beraturan.
Kondisi ini membuat Bu Yuyun bingung. Ia ingin menyunat anaknya, tetapi khawatir jika ternyata Zihril juga memiliki rahim layaknya perempuan. Sayangnya, untuk memeriksakan diri ke dokter pun ia tak punya biaya. Zihril bahkan belum memiliki jaminan kesehatan karena ada kesalahan pada data kependudukan.
Lebih menyakitkan, Zihril sering menjadi bahan ejekan teman sebayanya karena belum disunat. Bahkan ketika hendak salat di masjid, ia kerap diejek, “Ah, can di sunatan mah teu meunang ka masjid!” (Ah, belum disunat jangan ke masjid!). Meski hatinya perih, Zihril tetap rajin ke masjid. Jika rasa minder datang, ia memilih belajar mengaji di rumah bersama ibunya.
Jika kondisi ini dibiarkan, Zihril bisa kehilangan kesempatan untuk hidup normal. Selain kesehatan, masa depannya juga terancam karena dokumen-dokumen penting seperti akta lahir, KTP, atau ijazah akan bermasalah jika jenis kelaminnya tidak jelas secara medis.
Sungguh memprihatinkan nasib Zihril, seorang anak yatim dengan kondisi kelamin ganda. Ia hanya ingin hidup normal dan memiliki kepastian atas identitas dirinya. Sahabat, mari kita bersama-sama membantu agar Zihril memiliki harapan hidup yang lebih baik.