Senja itu, tahun 1964, Aminah—gadis 18 tahun yang tengah bertunangan—duduk di beranda rumah, menatap surat yang baru saja diterimanya. Surat itu bukan undangan pernikahan. Tapi panggilan dari negara. Hatinya berperang.
Tiga bulan lagi ia akan menikah dengan pemuda yang dicintainya, namun tanah air memanggilnya untuk berada di garis depan dalam operasi Konfrontasi Dwikora (1964–1967), misi mempertahankan kemerdekaan dari ancaman luar negeri. Dengan berat hati, ia membuat pilihan: pengabdian untuk negeri. Air matanya menetes saat mengembalikan cincin tunangan. “Saya janji setia… tapi untuk negeri,” bisiknya dalam hati, meninggalkan mimpi rumah tangga demi bendera merah putih.
Awalnya, Bu Aminah bekerja memasak dan menjahit untuk para prajurit. Namun lingkungan itu menuntutnya lebih. Ia mengikuti pelatihan militer—latihan fisik, teknik bertahan hidup, hingga menembak. Dalam foto-foto hitam putih yang kini tersimpan rapi, terlihat wajahnya yang muda, gagah, penuh semangat. “Waktu itu tidak ada rasa takut. Hanya semangat, karena Indonesia sudah merdeka, tapi masih ada yang mengganggu,” kenangnya.
Tapi perang tak cuma menguji fisik—nyali pun ikut teruji. Ia ingat jelas saat empat selongsong peluru melintas begitu dekat, nyaris merenggut nyawanya. Ia selamat, tapi dua sahabatnya gugur di tempat. “Sampai sekarang saya masih kirim doa buat mereka,” ucapnya lirih, menatap foto sahabatnya.
Kini, di usia 79 tahun, tubuh Bu Aminah tak lagi gagah. Stroke yang menyerang pada 2017 membuat kaki dan tangan kirinya lumpuh. Untuk makan saja, ia bergantung pada anaknya, Bu Asri, yang dulu bekerja sebagai buruh cuci keliling dan asisten rumah tangga panggilan, namun kini sepenuhnya merawat ibunya. “Ya… mau kerja lagi gimana, Pak? Ibu sudah tidak bisa apa-apa. Segalanya harus dibantu saya. Sudah kayak bayi sekarang,” ujarnya.
Hanya gaji pensiunan yang menopang mereka—namun itu tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari Bu Aminah, seperti terapi, obat-obatan, dan popok dewasa. Dulu ia gagah di medan laga, kini berjuang melawan sepi dan keterbatasan fisik. Tak ada sorak-sorai, tak ada penghormatan setiap hari, hanya kenangan dan doa yang terus dipanjatkan.
Menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025, mari kita tunjukkan bahwa kita peduli. Apa yang kita berikan mungkin tak sebanding dengan pengorbanan mereka, tapi setidaknya bisa menjadi tanda cinta untuk para pahlawan yang menjaga merah putih tetap berkibar.
Dana yang terkumpul akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari Bu Aminah, termasuk terapi, dan popok dewasa. Jika terdapat kelebihan dana, akan disalurkan kepada penerima manfaat lain di bawah naungan program Yayasan Sahabat Beramal Jariyah.