Setiap pagi, Mbah Satari mendorong sepeda tuanya yang berkarat, membawa kotak styrofoam berisi es lilin warna-warni. Bukan dagangan kekinian, bukan pula makanan mahal. Hanya es lilin buatan rumahan, yang dulu akrab di tangan anak-anak kampung, yang kini makin jarang dicari.
Kakinya sudah lama sakit. Berjalan terlalu jauh membuatnya sering gemetar. Tapi demi sang istri yang tengah sakit di rumah, beliau tetap berkeliling tanpa peduli rasa nyeri di sekujur tubuh. Istrinya sudah tak bisa mendengar dengan baik. Usia dan sakit telah membuat mereka bergantung satu sama lain, tak punya siapa-siapa lagi selain diri mereka sendiri.
“Mbah gak kuat lagi ngontel, jadi sepeda ini lebih sering saya dorong aja,” ucapnya lirih.
Kadang Mbah Satari pulang tak membawa uang. Dagangannya tak laku, dan es-es itu harus dikembalikan. Tak jarang, ia hanya mengantongi Rp10.000 untuk seharian berkeliling.
Gubuk tempat mereka tinggal berlantaikan tanah. Jika hujan datang, air masuk dari segala arah, membuat tidur mereka terganggu dan tubuh semakin sakit. Tapi belum ada pilihan lain. Tidak ada uang dan tidak ada keluarga yang bisa membantu.
Meski hidup penuh kekurangan, Mbah Satari tidak pernah mengeluh. Yang ia harapkan hanya ingin istrinya bisa berobat dan makan tanpa menunggu perut sakit. Agar hari esok tak selalu harus ditukar dengan rasa sakit dan kelaparan.
Kita mungkin tak bisa bantu semuanya. Tapi sedikit dari kita bisa membuat Mbah Satari tetap bertahan