Setiap pagi, Abah Kandi memulai harinya dengan semangat, meski tubuhnya mulai renta. Ia menempuh jarak 10 hingga 20 kilometer untuk berjualan pensil—berangkat menggunakan angkutan umum yang memerlukan biaya Rp25.000. Namun saat pulang, Abah harus menapak jalan pulang sendirian, karena uang tak cukup untuk sekadar ongkos.
Sudah empat tahun ini Abah berjualan pensil. Ia berangkat sejak pukul enam pagi dan kembali menjelang siang. Rute dagangnya cukup jauh, menjelajah berbagai sudut Garut: Samarang, Tarogong, Garut Kota, Simpang Lima, Tegal Jambu, hingga Leuwi Daun.
Di hari lainnya, Abah bisa mendapatkan Rp50.000. Tapi setelah dikurangi modal, sisa bersih yang dibawa pulang hanya sekitar Rp17.500. Sering kali, hanya satu atau dua batang pensil yang terjual, dengan keuntungan tak sampai Rp5.000.
Kadang, ada tangan-tangan baik yang menyelipkan uang Rp50.000, bahkan Rp100.000. Ada juga yang memberinya sebungkus nasi rames. Bantuan-bantuan kecil itu terasa begitu besar bagi Abah dan istrinya, Mak Dedeh.
"Kalau diceritain suka bikin emak nangis, Neng," kata Mak Dedeh lirih. "Kadang dagangan sepi, cuma dapet Rp10.000. Untungnya keluarga emak suka ngasih beras. Kalau enggak, gimana bisa makan?”
Dalam diam, mereka menanggung banyak luka. Penghasilan yang tak cukup, utang yang menumpuk, bahkan cemoohan anak-anak di jalan yang kadang menyayat hati. Untuk makan, Mak Dedeh sering meminjam ke saudara. Kini, utang mereka sudah mendekati Rp1.000.000. Bila ada lebih sedikit saja dari hasil dagang, Abah sisihkan untuk bayar utang—sisanya, kembali dijadikan modal.
Hidangan harian mereka pun amat sederhana: kangkung, tempe, atau tahu. Abah paling suka sayur kacang dan kerupuk. Meski tak banyak pilihan, ia tetap bersyukur atas apa yang ada. Dulu, sebelum menjadi penjual pensil, Abah pernah berjualan perabot keliling di Bandung selama puluhan tahun. Namun seiring usia menua, ia tak lagi sanggup mengangkat beban berat. Maka ia kembali ke kampung halaman dan mulai dari awal.
Kini, penglihatan Abah mulai kabur. Menyebrang jalan menjadi tantangan.
“Mak, tadi Abah hampir ketabrak motor,” tuturnya. “Untung Allah masih selamatkan Abah, mungkin kalau nggak, pulangnya cuma tinggal nama.” Pernah pula ia tertipu oleh seseorang yang pura-pura menawarkan tumpangan. Hasil jualannya dan KTP raib seketika. Kisah lain pun tak kalah getir—dulu, saat masih berjualan perabot, ia naik delman yang ujungnya justru merampas uang hasil dagang.
Mak Dedeh dulunya membuat jaring ikan. Satu dijual seharga Rp10.000, satu kodi bisa Rp200.000. Tapi semua itu terhenti sejak orang yang biasa menolong memberi modal meninggal dunia, empat tahun lalu. Kini, Mak Dedeh hanya bisa berharap: jika kelak ada sedikit rezeki lebih, ia ingin kembali membuat jaring atau membuka warung kecil di rumah. Supaya Abah tak perlu lagi ke luar rumah, agar tubuhnya bisa lebih banyak beristirahat.
Daya ingat Abah pun mulai memudar. Kadang ia lupa sudah salat, lalu ingin salat lagi. Rumah tempat mereka tinggal adalah peninggalan istri pertama Abah—bukan milik mereka sepenuhnya. Tak ada aset, tak ada simpanan. Biaya bulanan air dan listrik hanya Rp60.000, tapi tetap terasa berat di tengah hidup yang serba kekurangan.
Meski lelah, Abah tak pernah lalai beribadah. “Abah capek, Mak. Kaki pegal luar biasa, sampai nggak kuat jalan,” keluhnya suatu malam. Tapi ia tetap berangkat esok harinya. Dalam kondisi yang mungkin membuat banyak orang menyerah, Abah tetap berjuang.
Abah Kandi dan Mak Dedeh hidup dalam keterbatasan yang nyaris tak menyisakan ruang bernapas. Namun mereka tetap menggenggam harapan. Harapan untuk bisa hidup lebih layak.
Apabila kelak tersedia modal yang cukup, Emak berencana untuk melanjutkan kembali usaha membuat jaring yang telah lama dijalani. Selain itu, ada keinginan untuk membuka warung kecil di rumah sebagai tambahan penghasilan. Dengan adanya usaha dari rumah, Abah tidak perlu lagi berjualan ke luar, sehingga dapat lebih banyak beristirahat di rumah mengingat usia beliau.
Dana yang terkumpul akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan modal usaha, serta biaya pengobatan penglihatan abah yang mulai kabur. Jika terdapat kelebihan dana, akan disalurkan kepada penerima manfaat lainnya di bawah naungan program Yayasan Sahabat Beramal Jariyah.