“Kalau operasi kali ini gagal dan Kakak harus pergi... Mamah jangan sedih ya. Mamah harus kuat... Maaf Kakak selalu merepotkan.”
— Widia, 16 tahun, menangis di pelukan ibunya sebelum operasi ke-11
Suasana sunyi menyelimuti ruang rawat. Di sisi ranjang rumah sakit, Bu Dewi menggenggam tangan anaknya yang lemah. Air matanya jatuh, tak bisa menahan rasa sakit yang seharusnya bukan untuk anak seusia Widia. Widia Bayu Krisna (16) sudah 8 tahun berjuang melawan kelainan usus besar. Awalnya hanya demam tinggi, perut kembung, dan sulit buang air besar. Namun setelah diperiksa, Widia didiagnosis penyempitan dan kelainan fungsi usus besar. Sejak itu, hidupnya tak pernah sama lagi.
Sudah 10 Kali Operasi, tapi belum kunjung sembuh. Meski sudah menjalani 10 kali operasi besar, tiga bagian usus Widia masih bocor. Tak ada saluran buang alami, kini seluruh kotoran tubuhnya harus keluar melalui lubang buatan di perut kirinya. Kantong kolostomi harus selalu tersedia untuk menampungnya. Namun karena tak mampu membeli kantong medis, Widia kini hanya menggunakan plastik biasa, yang membuat perutnya iritasi, luka, dan berisiko infeksi berat. Segalanya Sudah Dijual untuk Menyelamatkan Widia. "Kalau bisa, biar saya aja yang sakit, jangan anak saya...” – Bu Dewi, sambil menahan tangis
Demi menyelamatkan Widia, Bu Dewi dan suaminya rela kehilangan segalanya. Ayah Widia dulu bekerja siang-malam sebagai satpam pabrik dan travel, tapi akhirnya di-PHK karena terlalu sering izin mendampingi Widia di rumah sakit.
Kini, mereka hanya mengandalkan penghasilan dari memulung. Setiap hari, mereka keliling kota mencari sampah layak jual. Hasilnya, yang paling banyak Rp30.000 per hari. Itu pun tak selalu ada.
“Pernah saya dikira mau nyolong motor. Padahal saya cuma mau ambil botol bekas di dekat situ…” ujar Pak Krisna, ayah widia
Dalam Sebulan, Biaya Kesehatan Capai 5 Juta. Meski memiliki BPJS, kebutuhan penting seperti kantong kolostomi, salep, perban, alat luka—semuanya tidak ditanggung. Bahkan saat tak punya uang, mereka harus ganti kasa luka dengan tisu dapur, dan kantong kolostomi diganti plastik kresek. Untuk kontrol ke rumah sakit, jika tak ada ongkos, Widia digendong pulang-pergi oleh orang tuanya. Sering kali mereka hanya makan nasi dan garam. Kadang hanya sepotong roti atau kerupuk untuk mengganjal lapar.
“Widia pernah koma setelah operasi ke-3. Waktu itu kami tak punya uang sepeser pun.”
– Bu Dewi
Meski tubuhnya lemah, impian Widia tak pernah surut. Ia ingin sembuh. Ia ingin kembali sekolah. Ia ingin jadi dokter—agar bisa menyembuhkan orang lain yang menderita seperti dirinya. Kini Widia tengah menunggu operasi ke-11, dan harus terus menjaga kondisi tubuhnya agar bisa bertahan sampai jadwal operasi tiba.
Sahabat Amal, jika tak ada uluran tangan dari kita, bagaimana Widia bisa terus berjuang?
Dana yang terkumpul akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, biaya pengobatan hingga pemulihan, serta pemenuh nutrisi dan perawatan luka. Jika terdapat kelebihan dana, akan disalurkan kepada penerima manfaat lainnya di bawah naungan program Yayasan Sahabat Beramal Jariyah.